Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: panca sradha

Perjalanan Spiritual Seorang Mahasiswi


Ailsa Amila adalah seorang mahasiswa pada saat dia melangsungkan upacara sudi wadani. Lia baru menginjak semester III Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur. Pada saat itu usianya telah memasuki usia 21 tahun, yang secara hukum sah untuk menentukan dan memilih jalan hidupnya. Kini, dia telah berani mempertanggungjawabkan keyakinan hidupnya dengan memilih Hindu sebagai agamanya. Lia, demikian panggilan akrabnya, tidak ada yang “mendakwahinya” sebelum ia memutuskan masuk Hindu. “Saya masuk Hindu atas kesadaran saya sendiri,” katanya seusai melaksanakan upacara sudi wadani di Ashram Dharmasastra Manikgeni, Pujungan, Tabanan, Minggu 29 Desember 2002. Kini Lia sudah berusia 31 tahun dan mungkin telah menjadi seorang Ibu pada sebuah keluarga Hindu.

Image by: Sejarah Hari Raya Hindu; Ilustrasi

Lia berkisah, dirinya mantap pada pilihannya sekarang ini karena ada semacam dorongan kuat yang meletup-letup dari dalam hatinya. Entah dari mana sumber letupan dan dorongan itu, ia tidak tahu pasti. Padahal sebelumnya ia termasuk memperoleh pendidikan kuat dari orangtuanya pada agama yang dianut sebelumnya. “Ayah saya sudah almarhum. Dia berasal dari Timur Tengah. Sementara ibu, setelah ayah meninggal kembali melaksanakan ritual kejawen,” ujar gadis ceria itu.

Lia menambahkan, lakon kejawen yang dipraktekkan ibunya antara lain melakukan semedi/meditasi. Selesai semedi, biasanya sang ibu memberikan pandangan-pandangan hidup kepada putra-putrinya. Lia bersaudara dua orang. Adiknya, laki-laki, masih di bangku SMU. Dalam memberikan wejangan-wejangan, konon sering ibunda Lia menjelaskan bahwa manusia setelah meninggal akan lahir kembali. Dari sana dia mencoba mencari tahu kebenaran amanat ibunya itu. “Akhirnya saya menulis surat pembaca ke majalah yang terbit di Bali, untuk mohon bimbingan dan buku-buku. Dari proses itulah saya banyak tahu tentang Hindu dan akhirnya saya merasa cocok dan mantap dengan Hindu,” tandas mahasiswi yang mengaku belum punya pacar itu.

Lia mengaku, ia memang sempat punya hubungan khusus dengan laki-laki asal Bali. “Tapi bukan karena alasan itu saya menjadi Hindu. Lagian cerita itu sudah lama, dan sudah lama pula bubaran,” lanjut Lia sembari menegaskan dirinya belum terlalu memikirkan pasangan hidup sebelum studinya selesai. Memang, Lia pernah seperti tersinggung ketika dalam sebuah mailing list di internet, ada yang memberikomentar, Lia mau masuk Hindu gara-gara punya pacar orang Bali yang beragama Hindu. Ketika itu Lia membalas dengan agak emosional: “Saya masuk Hindu bukan karena pacar atau cari jodoh, terlalu kecil kalau saya menganggap Hindu demikian. Saya masuk Hindu karena dorongan hati.” Barangkali sikapnya itu mencerminkan Lia sebagai seorang gadis yang penuh tanggung jawab. Ditambahkan, dirinya tentu saja kelak akan mencari pria pendamping yang sradanya sama dengan dirinya, yakni Hindu.

Sempat ditolak di Malang

Perjuangan Lia untuk masuk Hindu memang agak panjang. Mula-mula ia menghubungi PHDI Malang untuk menyatakan niatnya itu. Oleh PHDI Malang, Lia diminta untuk mengajukan pernyataan tertulis yang diketahui oleh ibunya. Artinya, Lia masuk Hindu harus mendapatkan restu tertulis dari ibunya. Di sinilah muncul ketegasan Lia untuk tidak mau mengikuti “aturan” itu, karena di agama non-Hindu rasanya tak mungkin ada orangtua yang mengizinkan anaknya pindah agama.

Keluhan Lia itu disampaikan kepada teman-temannya. Lalu, oleh prakarsa sejumlah teman-teman Lia di Malang, keluhan itu disampaikan ke mailing list Hindu Dharma Net. Di sinilah timbul simpati dan kemudian ramai-ramai untuk mencarikan jalan keluar, bagaimana agar Lia bisa melaksanakan dorongan batinnya untuk masuk Hindu.

Putu Setia, salah seorang pendiri Hindu Dharma Net memberikan jalan keluar, bagaimana kalau Lia disudiwadani (upacara masuk Hindu) di Ashram Dharmasastra Manikgeni. Hanya saja, karena sedang ada pembangunan di Ashram, upacara itu baru bisa dilangsungkan di bulan Desember. Lia setuju dan kemudian dicarikan hari baik yakni pada liburan akhir tahun. Dengan demikian banyak teman-teman Lia yang akan menyaksikan peristiwa ini.

Ashram Dharmasastra Manikgeni Pujungan sudah sering dijadikan tempat untuk melaksanakan upacara sudiwadani. Surat keterangan sudiwadani cukup ditandatangani oleh Ketua PHDI Kecamatan Pupuan yang mewilayahi ashram itu dengan dua orang saksi, biasanya tokoh-tokoh yang dikehendaki yang disudiwadani. Namun, sudiwadani untuk Lia berlangsung dalam segala keunikannya. Pada saat acara dilangsungkan, terjadi hujan lebat sehingga pelaksanaan sudiwadani tidak dilangsungkan di Padmasana, tetapi di merajan keluarga Putu Setia. Karena itu, upacara ritual sudiwadani dilakukan oleh Putu Setia didampingi Ketua PHDI Kecamatan Pupuan I Wayan Nesa Wisuandha. Sebagai saksi adalah Ida Brahmana Guna Awatara Dasa, anggota sabha pandita PHDI Pusat dan Ketua PHDI Bali I Made Artha. Semula Lia meminta Putu Setia selaku pimpinan ashram sebagai saksi, tetapi Lia bisa diyakinkan bahwa justru ada Ketua PHDI Bali yang datang hadir dan bisa jadi saksi. Ini merupakan sudiwadani yang sangat berarti karena saksinya adalah pimpinan puncak PHDI. Dan sekaligus sudiwadani yang paling khusyuk karena syukuran sudiwadani itu memakai upacara Agni Hotra yang dihadiri tokoh-tokoh muda Hindu dari berbagai kota di Bali. Suatu kehormatan besar untuk Lia, gadis Malang ini.

Sebelum syukuran, sebagaimana tradisi dalam upacara sudiwadani, Lia mendapatkan bekal-bekal mengenai keyakinan dasar agama Hindu, yakni Panca Srada dari I Wayan Nesa Wisuanda. Lalu Lia mendapatkan penjelasan sedikit tentang upacara ritual yang memakai banten versi Hindu Bali itu dari Putu Setia. Soalnya, upacara dilangsungkan di merajan keluarga, maka Lia harus tunduk pada ritual yang ada banten prayascita dan sebagainya. Terakhir Lia mendapatkan wejangan dari Brahmana Guna Awatara Dasa agar Lia mempelajari Weda untuk mencari pengetahuan tentang keesaan Tuhan. Setelah dimengerti keesan Tuhan itu, lanjut Brahmana, agar direalisasikan dalam badan kita. Karena di dalam badan setiap makhluk terdapat percikan Hyang Widhi yang disebut atman atau roh. Potensi atman itu pada dasarnya sama dengan paratman (Hyang Widhi). Namun potensi itu baru bisa bangkit apabila manusia dengan pikiran jernih, jujur, dan tekad yang kuat melaksanakan ajaran-ajaran Weda dan kitab suci Hindu lainnya. Sebaliknya jika manusia bergelimang perbuatan dosa, maka potensi atman itu akan semakin terpuruk.

Tetapi, perjuangan Lia nampaknya memang belum selesai. Karena proses pemelukan agama baru yang diyakini itu tidak diketahui secara formal oleh ibu dan adiknya. Khusus kepada ibunya, Lia mengaku sudah sempat hal itu dikomunikasikan. Reaksi ibunya hanya mengharapkan agar Lia tidak terlalu vulgar menyatakan dirinya beralih agama. “Kepada ibu, kamu boleh saja bersikap mengaku tidak lagi beragama seperti almarhum ayahmu, tapi jangan terlalu menunjukkan sikap berlebihan,” kata ibunya sebagaimana ditirukan Lia. Pesan ibunya akan ia jaga baik-baik. Dirinya tidak akan eksklusif. Meskipun demikian, Lia berjanji akan memanjatkan Mantram Gayatri di rumahnya setiap saat sebagai proses pemberitahuan kepada ibu dan adiknya. “Saya sudah hafal Gayatri Mantram kok,” katanya dengan logat Jawa yang kental.

Sekalipun ada semacam restu dari ibundanya, namun sang ibu tak tahu kalau Lia mantap pada keyakinan Hindu. Dikiranya Lia akan sama-sama pada pilihan kejawen.

Selamat kepada Lia yang kini tergabung dalam keluarga besar umat Hindu. Semoga tetap teguh dalam srada yang baru. Tantangan dan hambatan sudah barang tentu akan selalu ada menyertai hidup ini. Bersembahyang dan berdoalah secara rutin kepada Hyang Widhi. Resapilah isi Bhagawad Gita dengan hati jernih. Niscaya Hyang Widhi akan selalu melindungi umatNya.

Sekali lagi selamat, rajin belajar agar sukses, dan semoga damai selalu.

Sumber: Majalah Raditya

Artikel lain:

  1. Upacara Sudi Wadani
  2. Perjalanan Spiritual Seorang Gadis Sasak

Panca Sradha


Sering orang beranggapan bahwa agama Hindu memuja banyak Dewa, anggapan ini tentu benar. Namun perlu dijelaskan bahwa dalam agama Hindu Dewa bukanlah Tuhan, tetapi Dewa adalah manifestasi dari Tuhan. Tuhan itu Maha Esa tiada duanya dalam bait kedua Tri Sandhya di sebutkan:

Om Nàràyana evedam sarvam
yad bhùtam yac ca bhavyam
niskalanko nirañjano nirvikalpo
niràkhyàtah suddo deva eko
Nàràyano na dvitìyo’sti kascit
Artinya: Ya Tuhan, Nàràyana adalah semua ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa Nàràyana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua.

Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk. Dan pada bait ketiga ditegaskan:

Om tvam sivah tvam mahàdevah
ìsvarah paramesvarah
brahmà visnusca rudrasca
purusah parikìrtitah
Artinya:
Ya Tuhan, Engkau dipanggil Siwa, Mahàdewa, Iswara, Parameswara, Brahmà, Wisnu, Rudra, dan Purusa.

Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha. Panca Sradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:

  1. Widhi Tattwa – percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya, Agama Hindu yang berlandaskan Dharma menekankan ajarannya kepada umatnya agar meyakini dan mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan dalam kitab Weda, Tuhan diyakini hanya satu namun orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam agama Hindu, Tuhan disebut Brahman. Filsafat tersebut tidak mengakui bahwa dewa-dewi merupakan Tuhan tersendiri atau makhluk yang menyaingi derajat Tuhan.
  2. Atma Tattwa – percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk, jiwa yang terdapat dalam makhluk hidup merupakan percikan yang berasal dari Tuhan dan disebut Atman. Jivatma bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh badan manusia yang bersifat maya, maka Jiwatma tidak mengetahui asalnya yang sesungguhnya.
  3. Karmaphala Tattwa – percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan,setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil, baik atau buruk. Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib yang akan ia jalani sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi).
  4. Punarbhava Tattwa – percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi),Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses reinkarnasi diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksa)
  5. Moksa Tattwa – percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia, Moksa merupakan suatu keadaan di mana jiwa merasa sangat tenang dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya karena tidak terikat lagi oleh berbagai macam nafsu maupun benda material. Pada saat mencapai keadaan Moksa, jiwa terlepas dari siklus reinkarnasi sehingga jiwa tidak bisa lagi menikmati suka-duka di dunia. Oleh karena itu, Moksa menjadi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh umat Hindu.

Beberapa orang beranggapan bahwa Tuhan agama Hindu itu banyak. Anggapan ini tentu tidak dapat biarkan menjadi kekeliruan penilaian tentang Hindu. Kerangka dasar Panca Sradha ini adalah jawabannya.

%d bloggers like this: