Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Di Balik Sederhananya “Ngaben” Sang Tokoh


ida pedanda made sidemen

Penyederhanaan upacara sering kita diwacanakan oleh para sulinggih-sulinggih dan tokoh-tokoh masyarakat di Bali. Namun tat kala tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat tersebut menyelenggarakan upacara, cendrung menonjolkan kemewahan dan kemegahan pada upacaranya tersebut.

Kutipan dari media cetak Denpost I:

Umat Hindu di Bali pantas bercermin pada sosok Ida Pedanda Made Sidemen mengenai kesederhanaan dalam menggelar upacara pitrayadnya. Tatkala jasad Sang Pendeta yang juga pengawi serta arsitek agung Bali itu di -pelebon, upacaranya jauh dari kesan mewah ataupun megah. Tak ada lembu bertanduk emas, tiada usungan bade menjulang tinggi, tanpa hingar-bingar pula. Kendari Pelebon pada tanggal 13 September 1984 itu di iringi ribuan orang, toh yang terasa seperti kesunyian, keheningan.

Memang upacara pelebon sederhana itu merupakan wasiat Ida Pedanda sebelum lebar (meninggal). Ida Pedanda berpesan kepada putrinya, Ida Ayu Pidin agar jazadnya cukup di bakar sederhana. Bahkan, Ida Pedanda sepertinya sudah tau kapan akan dijemput kematian. Lantaran sebagian perlengkapan upacara pelebon-nya disiapkan sendiri. Keropak penutup jenazahnya misalnya, sepenuhnya merupakan karya Ida Pedanda sediri.

Kesederhanaan memang menjadi jalan hidup Ida Pedanda Made Sidemen. Dalam karya-karyanya, Sahabat Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung ini menyebutkan diri tidak berpunya (mayasa lacur). Tidak punya tanah sawah (tong ngelah karang sawah), sehingga memilih jalan “bercocok tanam” di dalam diri (karang awake tandurin), kendati begitu Ida Pedanda senantiasa berharap bisa bermanfaat bagi masyarakat (guna dusun).Jalan sederhana dalam melaksanakan upacara ngaben juga dicontohkan dr. Anak Agung Jelantik. Saat pelebon mendiang Istrinya di Mumbul, Kuta Selatan. Padahal, sebagai putra Raja Karangasem, dia bisa saja menggelar ngaben megah, mewah semarak dan meriah layaknya tradisi kerajaan.

Kutipan II media cetak denpost :

Jalan sederhana dalam melaksanakan upacara ngaben juga dicontohkan dr. Anak Agung Jelantik. Saat pelebon mendiang Istrinya di Mumbul, Kuta Selatan. Padahal, sebagai putra Raja Karangasem, dia bisa saja menggelar ngaben megah, mewah semarak dan meriah layaknya tradisi kerajaan.

Namun, Jelantik juga memilih jalan sunyi. Tak ada iring-iringan masa berjalan panjang hingga memacetkan pengguna jalan. Tak ada gemuruh tetabuhan baleganjur. Tak ada usungan bade tinggi menjulang. Tak ada hingar bingar dengan beberapa kendaraan, jenazah sang Istri meluncur ke Mumbul.

Selain itu ada tokoh lain seperti Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda, Giriya Nataran Kayumas Kelod yang amor ring acintya pada tanggal 12 April 2012 lalu, Dimana beliau memberikan pesan jika nanti pada saatnya beliau dipanggil oleh sang pencipta, agar beliau diupacarai sesederhana mungkin. Semasa hidup, beliau juga sering menyelenggarakan upacara yadnya dengan biaya ringan bahkan tanpa biaya sekalipun baik di Bali maupun di luar Bali. Selain itu juga yang patut menjadi contoh adalah pada saat beliau didatangi oleh kakek miskin yang berharap agar sebelum kakek ini meninggalkan dunia ini agar pernah ada seorang sulinggih yang muput di Merajannya yang bangunannya sudah sangat rusak berat, dan yang mengharukan adalah sang pandita pun berkenan mepuja hanya menggunakan banten “Peras Pengambyan” saja lengkap menggunakan Bhusana Agung (busana kebesara seorang sulinggih).

Itulah beberapa contoh tokoh agama dan tokoh masyarakat di Bali yang patut kita contoh kesederhanaannya, yang mana sangat jarang sekali kita temui pada masa sekarang.

Dari: berbagai sumber. artikel lainnya: landasan filosifis ngaben

2 responses to “Di Balik Sederhananya “Ngaben” Sang Tokoh

  1. I Gusti Made Darmaweda September 6, 2013 at 4:13 am

    Memang cara orang Bali menjalankan agamanya (Hindu), pada jama sekarang ini lebih menonjolkan glamour-nya daripada hakikatnya. Yang dikejar adalah kesan, kesan kabinawa, kesan mewah, dan gengsi. Hal inilah yang membuat kebanyakan dari kita (orang Hindu Bali), kalau jujur, merasa berat dalam beragama. Butuh biaya besar, dalam setiap upacara, baik upacara Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, maupun Dewa Yadnya.
    Ini menunjukkan bahwa kebanyakan dari kita, beragama kesamping, bukan ke atas. Artinya, setiap akan melaksanakan upacara, saudara, famili, tetangga, masyarakata banjar, dst, menjadi pertimbangan. Tidakkah kita malu membuat upacara seperti ini? Tidakkah kita dicemooh kalau upacaranya sederhana seperti ini? Itulah beberapa pertanyaan yang sering menggelayut dalam benak orang yang akan membuat upacara.
    Dalam situasi ekonomi, dan beban hidup dijaman sekarang ini, maka pelaksanaan upacara, upacara apapun juga, perlu ditinjau kembali, agar tidak menyusahkan diri sendiri. Hal ini bisa terjadi, jika seluruh umat, terutama yang kaya harta benda, menyadari akan hal itu, dan menjadi pionir/contoh untuk melakukan upacara yang sederhana.

    Like

    • admin July 20, 2018 at 8:50 am

      Pada dasarkanya upacara yadnya apapun itu adalah soal keikhlasan dan kesucian hati bagi yang melakukannya. Selama Yadnya dilakukan dengan keikhlasan dan kesucian hati sebarapa besarpun biaya yang dikeluarkan tentu tidak dapat disalahkan karena memang ada kemampuan secara finansial. Namun sering akibat gengsi umat melakukan upacara yadnya diluar batas kemampuannya akibatnya hutang tak terbayar dan pada akhirnya menjual aset. Percayalah bahwa tidak ada leluhur yang berharap diupacarai dengan mewah namun kemudian meninggalkan beban bagi keluarga yang dicintainya. Beryadnya sesuai kemampuan ekonomi dan dilakukan dengan keikhlasan dan kesucian hati akan menyisakan rasa bhakti yang luar biasa kepada leluhur,

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.