Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Mengadopsi Anak Dalam Perspektif Adat Bali


Banyak terjadi kasus bayi yang baru lahir dibuang oleh orang tuanya atau anak-anak menjadi korban tindak kekerasan dalam keluarga. Disisi lain banyak pasangan yang telah menikah cukup lama namun belum memiliki anak. Keluarga akan terlihat sempurna manakala hadirnya seorang anak dalam keluarga tersebut. Beberapa kasus poligami diakibatkan oleh tidak adanya anak dalam keluarga. Keluarga yang tidak mempunyai anak menurut disebut Aputra, Niputrika dan Nirsamtana namun yang mereka tidak mempunyai anak dari rahim sendiri tidak berarti tertutup jalan untuk mencapa kebahagiaan yang sejati. Ketidakhadiran seorang anak hendaknya disikapi dengan bijaksana salah satu pilihan sebagai solusi adalah dengan Mengangkat anak atau mengadopsi dari kerabat terdekat, anak angkat dalam bahasa sanskerta disebut dengan krtakaputra, datrimasuta atau putra dattaka.

Ilustrasi : Image by: Anonymous

Hal yang perlu dipahami dan diyakini adalah bahwa apapun statusnya anak kandung maupun anak angkat sesunguhnya memiliki kedududkan yang sama dalam segala hal. Hal ini tercemin dalam kekawin nitisastra bahwa yang bisa disebut anak adalah anak kandung (lahir dari hasil perkawinan), anak yang lahir dari pendididkan kesucian, anak yang ditolong jiwanya saat menemui jiwanya, anak yang dipelihara, diberi makan selama hidup. Dengan mengacu pada kekawin nitisastra tersebut maka dapat ditafsirkan sebagai anak angkat adalah anak yang seorang bapak diberi makan selama hidupnya dengan tiada mengharapkan balasan apa-apa.

Masyarakat Bali mengenal beberapa istilah dalam pengangkatan anak antara lain: Ngidih pianak, Nyentanayang, Ngedeng/Ngengge pianak dan Memeras anak. Sedangkan anak yang diangkat disebut sentana, anak ban ngidih, anak sumendi, anak pupon-pupon dan sentana peperasan.

Menurut Hukum Adat Bali proses pengangkatan anak sebagai berikut:

  1. Dimulai dari musyawarah keluarga kecil (pasutri yang akan mengangkat anak). Kemudian diajukan dengan rembug keluarga yang lebih luas meliputi saudara kandung yang lainya.setelah ada kesepakatan matang, lalu mengadakan pendekatan dengan orang tua atau keluarga yang anaknya yang mau diangkat.
  2. Setelah semua jalan lancar dilanjutkan dengan pengumuman(pasobyahan) dalam rapat desa atau banjar. Tujuanya, untuk memastikan tidak ada anggota keluarga lainnya dan warga desa atau banjar yang keberatan atas pengangkatan anak yang dimaksud. Oleh karena itu, anak angkat harus diusahakan dari lingkungan keluarga yang terdekat, garis purusa, yang merupakan pasidi karya. Ada tiga golongan pasidikarya yaitu pasidikarya waris (mempunyai hubungan saling waris), pasidikarya sumbah ( pempunyai hubungan salaing menyembah leleuhur), dan pasidikarya idih pakidih ( mempunyai hubungan perkawinan).
  3. Apabila tidak ada garis dari garis purusa, maka dapat dicari dari keluarga menurut garis pradana (garis ibu). Apa bila tidak ditemuakn pula maka dapat diusahakan dari keluarga lain dalam satu soroh dan terakhir sama sekali tidak ada pengangkatan anak dapat dilakukan walaupun tidak ada hubungan keluarga (sekama-kama).
  4. Anak yang diangkat wajib beragama Hindu. Jika yang diangkat seseorng yang bukan umat Hindu, pengangkatan anak itu akan ditolak warga desa karena tujuan pengangkatan anak antara laian untuk meneruskan warisan baik dalam bentuk kewajiaban maupun hak, termasuk berbagai kewajiaban desa adat, terutama dalam hubungan dengan tempat suci (pura).
  5. Melakukan upacara pemerasan yang disaksikan keluarga dan perangkat pemimpin desa atau banjar adat. Pengangkatan anak baru dipandang sah sesudah dilakukan upacara pemerasan. Itulah sebabnya anak angkat itu disebut pula dengan istilah sentana paperasan.
  6. Selain melakukan upacara pemerasan proses berikutnya adalah pembuatan surat sentana. Walaupun hal ini tidak merupakan syarat bagi sahnya pengangkatan anak, tetapi hal ini penting dilakukan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pengangkatan anak. Menurut hukum positif pengangkatan anak dilakukan dengan penetapan hakim. Dengan demikian sesudah upacara pemerasan, patut dilanjutkan dengan mengajukan pemohonan penetapan pengangkatan anak kepada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum tempat pengangkatan anak itu dilaksanakan.

Menurut Dyatmikawati jika pasangan suami istri adalah orang Bali yang beragama Hindu, maka proses pengangkatan anak patut mengikuti ketentuan hukum adat Bali, awig-awig yang berlaku didesanya dan juga harus mengikuti tata cara pengangkatan anak sebagaimana ditentukan berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan adanya proses pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum yang berlaku (baik hukum adat maupun hukum nasional), maka anak itu akan memiliki kedudukan hukum persis seperti anak kandung.
Dalam hukum Hindu sudah ditegaskan bahwa kedudukan anak angkat tidak berbeda dengan anak kandung. Hal ini dapat dilihat dalam Manawadharmasastra IX.141 sebagai berikut:
Jika anak laki yang mempunyai anak angkat laki-laki yang mempunyai sifat-sifat mulia yang sama akan mewarisi walaupun lahir dari keluarga yang lain.

Kemudian dalam Manawadharmasastra IX.142 menyatakan: Keluarga dan harta warisan dari orang tua yang sebenarnya. Tarpana (upacara persenmbahan kepada kepada orang tua yang meningal), ia arus mengikuti nama keluarga (yang mengangkat) serta menerima warisan dari orang tua angkat (setelah tarpana kepadanya).

Tujuan Mengangkat Anak Menurut Hindu

Sebagaimana disebutkan, bahwa salah satu tujuan perkawinan dilingkungan umat Hindu di Bali adalah untuk mendapat keturunan dengan maksud untuk meneruskan warisan orang tua atau keluarganya. Dalam Hukum adat Bali yang dijiwai oleh ajaran Hindu adalah sebagai kewajiban (swadharma) dan hak, baik dengan hubungan dengan parahyangan, pawongan maupun palemahan.
Tujuan pengangkatan anak sebagai berikut:

  • Meneruskan warisan, Menurut ajaran agama Hindu yang tercemin dalam hukum adat Bali bahwa yang dimaksud dengan warisan adalah segala kewajiaban(swadharma) dan hak, baik dalam hubungannya dengan parahyanagan, pawongan maupun palemahan. Dengan demikian, anak angkat tidak saja berhak mewarisi harta benda orang tua angkatnya, tetapi juga memiliki kewajiban seorang anak yang sama dengan anak kandung. Kewajiaban itu misalnya memelihara merajan dan tempat suci lainya warisan aornag tua angkatnya termasuk melakuakan persembahan roh leluhur orang tua angkatnya (parahyangan), mensuciakn orang tua angkatanya atau roh leluhurnya (upacara ngaben), melaksanakan kewajiban dengan anggota keluarga yang lain dan dalam kaitanya dengan sesoroh, banjar (pawongan) dan memelihara rumah, lingkungan milik orang tua mengangkatnya (palemahan).
  • Menyelamatkan roh leluhur, Dengan adanya anak angkat maka sebuah keluarga tidak mengalami puntung atau putus. Dalam kepercayaan Hindu, keturunan yang berlanjut ini dapat menyelamatkan roh leluhur. Dalam adi parwa menyebutkan tentang pentingnya keturunan untuk menyelamatkan roh leluhur. Dalam Adiparwa disebutkan tentang pentingnya keturunan untuk menyelamatkan roh leluhur. Betapa pentingnya kehadiran seorang anak dalam keluarga sebagai penurus keturunan dan dapat menyelamatkan roh leluhur dari neraka. Dalam Manawadharmasastra IX.138 menyebutkan karena anak laki-laki akan mengantarkan pitara dari neraka yang disebut put, karena itu ia di sebut putra dengan kelahirannya sendiri. Sedangkan dalam Adiparwa, 74,38 disebutkanseseorng dapat menundukan dunia dengan lahirnya anak ia memeper oleh kesenagan yang abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-kekek akan memeperoleh kebahagiaan yang abadi dengan kelahiran cucu-cucunya.
  • Pengingkat tali kasih keluarga, kelahiran seorang anak/anak angkat dalam keluarga dapat sebagai pengingkat tali kasih dalam keluarga hal ini diungkapakan dalam sastra hindu, yakni dalam Adiparwa yang di sebutkan seorang anak merupakan pengikat tali kasih yang sangat kuat dalam keluarga, ia merupakan pusat penyatunya cinta kasih orangtuanya. Dalam ajaran agama Hindu dapat dikatakan kehadiran seorang anak/anak angkat sebagai penjalin cinta kasih dalam keluarga. Penomena yang ada betapa pun kemelut yang terjadi antara orang tua dan anak akan selalu damai dalam pelukan orang tua, anak juga akan menjadi pelekat diantara kemelut orang tua. Anak juga dapat menciptakan kedamaian dalam keluarga disamping orang suci dan seorang istri.

Dengan melihat begitu pentingnya peranan anak dalam keluarga yang perlu disimak selagi seorang anak adalah menyucikan dan mengagungkan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang melekat pada anak sesuai dengan sastra-sastra Hindu dengan berlaku sebagai anak yang suputra.

Artikel diolah dari berbagai sumber.

14 responses to “Mengadopsi Anak Dalam Perspektif Adat Bali

  1. nakbalibelog May 16, 2013 at 9:23 am

    Om Swastiastu;

    Informasinya becik pisan niki; ring desan tiange pernah ada kasus pengangkatan anak karena keluarga bersangkutan tidak memiliki anak laki-laki, namun awig-awig waktu itu memang belum secara spesifik mengaturnya, namun dalam perkembangan saat ini, aturan desa sudah diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan jaman. utamanya yang no 4 , yang ditakutkan setelah dewasa si anak menuntut untuk mengetahui ayah-ibunya yang asli. suksma salam rahayu
    om santih santih santih om

    Like

  2. desy May 25, 2015 at 5:43 am

    terima kasih, informasinya sangat bermanfaat bagi orang seperti saya yang tidak mengetahui adat bali sama sekali.
    saya ingin bertanya, apakah ada syarat-syarat tertentu megenai pengangkatan anak bagi orang tua yang mengangkat anak dan bagi anak yg diangkat tersebut. lalu, bagaimana dengan Hak dan kewajiban orang tua yg mengangkat setelah terjadi pengangkatan dan juga terhadap anak yang diangkat. apakah disamakan dengan anak kandung, atau ada perbedaannya.
    terima kasih

    Like

    • admin November 7, 2015 at 5:35 am

      Dear Ibu Desy, Suksma sudah meluangkan waktunya untuk mampir di blog ini. Persyaratan adopsi anak, antara lain:
      1. Pengadopsi minimal berusia 30tahun dan maksimal 55 tahun berdasarkan Identitas yang syah. 2. Pengadopsi harus sehat jasmani dan rohani serta berkelakuan baik. 3. Pengadopsi terbukti tidak memiliki anak, memiliki 1 anak atau telah mengangkat seorang. Dan bagi mereka yang divonis tidak dapat memiliki anak secara medis. 4. pengadopsi memiliki perekonomian yang cukup bisa dibuktikan dengan surat keterangan penghasilan dari tempatnya bekerja.
      adapun surat-surat yang harus dilengkapi seperti: fotocopy akta perkawinan suami istri, fotocopy surat kelahiran suami – istri, surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian, sehat keterangan sehat dari puskesmas atau tenaga medis, surat keterangan pekerjaan, surat pernyataan motivasi untuk mengadopsi anak, surat pernyataan untuk melaporkan perkembangan anak yang diadosi. semua persyaratan tersebut kemudian dilampirkan pada surat permohonan hak asuh ke dinas sosial.
      Untuk perlakuan terhadap anak asuh tentu saja tidak ada perbedaan dengan anak kandung, ketika seseorang telah memutuskan untuk mengadopsi seorang anak maka wajib secara hukum dan secara moral untuk memperlakukan anak tersebut selayaknya anak kandung.
      Semoga bermanfaat.

      Like

  3. Yantu October 15, 2015 at 6:48 am

    Suksema niki becik pisan informasinya. Semoga bermamfaat bagi kita semua.
    Juga saya ingin bertanya, bilamana seseorang (orangtua kandung) dibenarkan atau salah dalam memberikan anaknya untuk diadopsi keluarga lain?
    Mohon sekali pencerahannya….Suksema

    Like

    • admin November 7, 2015 at 6:06 am

      Om Swasty astu, suksma sampun simpang.
      Tidak ada salahnya jika anak kandung diadopsi keluarga lain sepanjang cara-cara yang sah menurut hukum. Namun sebagai orang tua kandung tentu harus berhati2 merelakan anak diasuh keluarga lain apalagi keluarga asuh bukan yang dikenal.

      Like

  4. I made arnawa February 26, 2016 at 11:31 am

    Selamat sore bapak/ibu,
    Saya mau ceritakan sedikit masalah yang di hadapi keluarga saya,
    Nama saya Arnawa, asli bali punya kakak perempuan nikah dengan orang bali juga punya satu ana laki2, pada umur anak 6 th mereka bercerai dan pengadilan memberi hak asuh ana pada ibunya ( kakak saya) sedangkan suaminya tidak menjalankan kewajibannya sesuai putusan pengadilan mbiayai sekolah anaknya.Semua biaya sekolah dan biaya hidup diusahakan oleh kami sekeluarga dari pihak perempuan ( kakak saya) sampai anak sekarang berumur 18 th ( mau tamat sma) . Pernah anak itu di datangi oleh bapaknya tapi si anak ttp menolak ikut dengan bapaknya, nah yang ingin saya tanyakan bagaimana status purusa anak tersebut? Bisakah saya menjadikannya sebagai anak (meras panak)? mengingat kedrpannya sebagai orang bali supaya punya hak waris (karena dia anaak laki)?, bagaimana prosesnya ? sedangkan hubungan saya dengan keluarga bapak si anak tidak bagus. Mohon penjelasannya , terimakasih

    Like

    • admin February 27, 2016 at 3:40 am

      Om Swasty Astu, Pak Made.
      Menyimak cerita pak made bahwa bapak dari anak tersebut tidak menjalankan kewajiban(membiayai sekolah, memenuhi kebutuhan anak) sesuai keputusan pengadilan itu jelas telah menyalahi aturan. Jika memang benar hak asuh jatuh kepada ibunya secara hukum berarti anak tersebut sah (secara hukum) sebagai purusha dikeluarga ibunya. Saran saya, patut tidaknya melakukan upacara memeras silahkan konsultasikan ke sulinggih terdekat. Mudah2an diberikan petunjuk yang benar.
      Om Santhi, santhi, santhi Om

      Like

      • Arnawa Made February 27, 2016 at 5:53 am

        Selamat siang dan terimakasih atas tanggapannya,

        Saya sudah berkonsultasi dengan kelihan adat dan sulinggih di desa tempat tinggal saya, dan rencananya akan di laksanakan dalam kurun waktu 2 bulan kedepan cuma saya ada sedikit keraguan mengenai pengesahannnya di pengadilan karena saya dan keluarga orang awam hukum, sedangkan bapaknya si anak ini adalah seorang hakim, yang ingin saya tanyakan lagi tidakkah memeras anak ini harus mendapat persetujuan dari bapaknya?, bisakah ijin itu hanya dari ibunya(mengingat hak asuh anak pada ibu) ?, terimakasih

        Sent from Yahoo Mail on Android

        From:”Paduarsana” Date:Sat, Feb 27, 2016 at 11:40 Subject:[New comment] Mengadopsi Anak Dalam Perspektif Adat Bali

        admin commented: “Om Swasty Astu, Pak Made. Menyimak cerita pak made bahwa bapak dari anak tersebut tidak menjalankan kewajiban(membiayai sekolah, memenuhi kebutuhan anak) sesuai keputusan pengadilan itu jelas telah menyalahi aturan. Jika memang benar hak asuh jatuh kepada”

        Like

      • admin February 27, 2016 at 7:39 am

        Pak Made, Jika berdasarkan keputusan pengadilan bahwa hak asuh jatuh pada ibu bukankah itu merupakan kekuatan hukum yang tidak dapat diganggu gugat ? apakah dalam keputusan pengadilan tersebut terdapat pasal-pasal yang menyatakan hak asuh ibu sampai batas umur tertentu?
        Untuk menjaga (memperbaiki) hubungan baik dengan si Bapak ada baiknya tetap dilakukan pembicaraan keluarga terhadap si Bapak.

        Like

  5. laksmi dewi March 29, 2016 at 7:46 am

    Anak saya telah diodopsi , saya memberikan ijin karna tekanan dari banyak pihak dan sampai saat ini saya masih belum iklas. Proses adopsi itu sendiri baru sampai di upacara saja belum sah di hukum. Apakah ada upacara untuk pembatalan semua itu…

    Like

    • admin April 1, 2016 at 8:44 am

      Om Swasty Astu, Pendapat saya jika ada ada upacara meminta(adopsi) pasti ada upacara untuk pembatalan tersebut karena secara niskala anak tersebut sudah diakui di merajan yang mengadopsi. Ini baru pendapat saya berdasarkan logika saja, mungkin saya salah. Mohon untuk konsultasi kepada pandita atau nak lingsir. Semoga mendapatkan pencerahan dari beliau. Om Santih, santih, santih Om

      Like

  6. DYLLA February 8, 2018 at 6:08 am

    Terima kasih atas informasinya, kebetulan kami akan melelui hal tersebut. Apakah bisa kami memperoleh informasi bagaimana bentuk/contoh surat bukti bahwa telah melaksanakan upacara pemerasan, krn kami kesulitan untuk menemukan contoh surat.tersebut , surat tersebut kami perlukan untuk melengkapi bukti dipengadilan. Mohon informasinya, suksma

    Like

    • admin February 14, 2018 at 10:48 am

      Om Swasty Astu, Ibu Dylla.
      Ampura dumun saya juga tidak pernah tau bagaimana contoh surat sebagai bukti telah melakukan upacara pemerasan. coba tanyakan ke parisadha setempat barangkali ada format yang formal. Jika ternyata tidak terdapat contoh saya rasa kita bisa membuat sendiri dengan memperhatikan isinya, sebagai berikut:
      1. Nama yang melakukan upacara, waktu dan tempat upacara dilaksanakan
      2. Tujuan dilakukan upacara
      3. Pemimpin (pemuput) upacara
      4. Saksi-saksi
      tentu dengan materai.
      Semoga dapat membantu.
      Om Santih, Santih, Santih Om.

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.